HUKUM MINUM OBAT KUAT
1.
Sekarang banyak accesories/ obat-obatan dengan alasan untuk pemuasan
hubungan suami istri, bagaimana hukumnya bila itu menjadi dasar untuk
pemenuhan kepuasan seorang istri?..
2. Pada waktu kapan hukum suci (boleh berhubungan) setelah istri
haid pada berhentinya darah haid, atau setelah mandi besar menurut
hadits shohih?
3.
Apakah yang menjadi dasar hukum aurat wanita selain istri kecuali
muka dan telapak tangan menjadi dosa/haram dilihat? Sementara setiap
hari kita sering bertemu dengan rekan, temen, orang lain yang setiap
hari masih banyak yang belum memakai jilbab, yang mau tidak mau
kelihatan dari anggota badannya?
4.Sebetulnya
mana yang harus menyesuaikan: usul fikih terhadap perkembangan jaman
atau perkembangan jaman terhadap usul fikih, mohon penjelasan yang
sejelas-jelasnya mas. terima kasih?
Jawaban:
1. Minum Obat Demi Istri
Di I'anah juz 3 bab al-kafa'ah
disebutkan, bahwa sebelum melakukan hubungan intim (senggama)
disunnatkan bercumbu rayu dengan tujuan saling menghibur. Juga
disunnatkan melakukan hubungan suami istri setiap 4 hari sekali. Sebab
dalam tinjauan fiqih seorang istri tidak akan dapat menahan nafsu
birahinya jika lebih dari empat hari. Juga tidak kalah pentingnya
seperti yang anda tanyakan, seorang suami disunnatkan berusaha agar
energinya prima dengan cara meminum jamu-jamu/obat-obat yang tidak
dilarang oleh syari'at. Karena menurut pandangan fiqih jamu itu juga
diperlukan untuk tujuan memuaskan sang istri. Agar dia menjadi terhidanr
dari perbuatan jelek/zina di samping juga agar memiliki keturunan yang
sehat.
2. Hubungan Suami Istri
Hadits yang menerangkan hal tersebut di antaranya tertulis di dalam kitab Sunan Abi Dawud
mengenai kewajiban seorang yang melakukan senggama pada saat istrinya
sedang haid atau setelah darahnya terhenti/tidak keluar namun si istri
belum mandi bersuci dari haid tersebut.
Di dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 222, disebutkan: "Jangan kau bersenggama dengan istri kalian saat mereka sedang haid sampai mereka sudah suci. Jika mereka sudah bersuci maka dipersilahkan kalian melakukan hubungan suami istri".
Ada
perdedaan pendapat di antara empat madzhab menyikapi ayat tersebut.
Menurut imam Hanafi, suami boleh melakukan hubungan suami istri jika
darahnya sudah terhenti sekalipun belum bersuci dari hadats haid, dengan
syarat darah haid keluar selama sepuluh hari atau lebih. Dan jika darah
haid keluar tidak sampai sepuluh hari, maka suami tetap tidak boleh
melakukan hubungan suami istri sekalipun darah sang istri sudah
terhenti, selama istri belum bersuci dari hadats haid.
Imam
Malik, Syafi'i dan Ahmad sepakat berpendapat bahwa seorang suami tidak
boleh melakukan hubungan suami istri selama istri belum bersuci dari
hadats haidnya. Sekalipun darahnya sudah terhenti (tidak keluar).
3. Pelanggaran Umum terhadap Aurat Wanita
Dalam
QS an-Nur: 31, Allah menegaskan larangan kepada perempuan mukminah
untuk menampakkan perhiasan kecuali kepada suami dan muhrimnya. Dalam
ayat tersebut Allah juga melarang mereka menampakkan perhiasan kecuali
yang tampak.
Ada
beda pendapat dikalangan ulama' di dalam mengartikan ayat tersebut.
Menurut Malik bin Anas ra yang dimaksud dengan perhiasan yang tampak
adalah wajah dan dua telapak tangan. Sehingga keduanya tidak tergolong
aurat baik di dalam salat atau di luar salat.
Menurut Syafi'i dan Ahmad, yang dimaksud dengan "kecuali yang tampak"
adalah terlihat/terbuka dengan sendirinya seperti terkena angin atau
terlihat dengan tidak disengaja. Berdasarkan pengertian ini kedua Imam
ini berpendapat bahwa aurat wanita di hadapan pria yang bukan mahramnya
adalah sekujur tubuh. Sebab menurut kedua imam ini, kata zinah
(perhiasan) sebagaimana yang ada di dalam ayat itu mempunyai dua
pengertian, yaitu: perhiasan alami yang dibawanya sejak lahir seperti
ketampanan atau kecantikan; dan perhiasan yang diupayakan oleh
seseorang, seperti pakaian, aksesoris, emas permata dll.
Penyebab
keharaman melihat aurat wanita itu adalah karena dapat membangkitkan
syahwat. Orang normal, jika melihat pada lawan jenisnya akan timbul
syahwat. Jika ternyata ada orang yang tidak bangkit syahwatnya saat
melihat lawan jenis (seperti karena lawan jenisnya tua atau jelek dll),
maka hukum haram itu tetap berlaku, sebagai langkah antisipasi.
4. Usul Fiqh dan Tantangan Zaman
Pertanyaan anda terkait dengan masalah apakah pintu ijtihad masih terbuka lebar atau justeru sudah tertutup sama sekali.
Kalau
melihat ketentuan yang berada didalam ilmu usul fiqih (hukum akan
berubah sesuai dengan perubahan ilatnya) mestinya yang disesuaikan
adalah usul fiqhnya. Terbukti di dalam ayat al-Qur'an terjadi namanya nashk
(penyalinan hukum). Akan tetapi ulama berbeda pendapat mengenai pintu
ijtihad, apakah masih terbuka atau sudah tertutup?. Pendapat yang ashah (lebih benar) mengatakan bahwa pintu ijtihad (mujtahid mutlaq) sudah tertutup rapat sejak tahun 300 H.
Sedangkan
menurut imam al-Suyuthi, pintu ijtihad tetap terbuka lebar sampai hari
kiamat tiba, berdasarkan hadits Nabi bahwa dalam setiap awal seratus
tahun Allah mengutus orang yang memperbaharui urusan agama Islam.
Menurut pengertian as-Suyuthi yang dimaksud dengan orang yang
memperbarui urusan agama adalah orang yang menetapkan syari'at dan
hukum-hukum agama. Mereka akan terus lahir sampai kiamat tiba untuk
memberi ketetapan hukum sesuai dengan tuntutan zamannya.
Jadi
melihat perkembangan zaman yang begitu pesat mungkin pendapat
as-Suyuthi yang lebih mendekati kebenaran. Sehingga saat ini tidak
menutup kemungkinan masih ada orang alim dan dianggap mampu menjawab
perkembangan kasus-kasus dengan menggunakan kacamata hukum Islam.
0 komentar:
Posting Komentar