BERSETUBUH SAAT WANITA LAGI HAID
Seperti kita ketahui bersama bahwa seorang pria haram menyetubuhi
istrinya yang sedang haidh. Akan tetapi, beberapa berita meyakinkan akan
nikmatnya bersetubuh ketika itu. Namun itu hanyalah suara orang-orang
barat yang ingin menggelapkan mata umat Islam dan agar kita tidak lagi
mengindahkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Artikel sederhana berikut akan
menyingkap beberapa hukum seputar hukum bersetubuh dengan wanita haidh.
Moga bermanfaat.
Haramnya Menyetubuhi Wanita Haidh
Para ulama sepakat bahwa menyetubuhi wanita haidh di kemaluannya dihukumi haram.
Allah
Ta’ala berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ
وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ
وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di
tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)
Dari Anas bin Malik disebutkan bahwa orang Yahudi biasanya ketika
istri-istri mereka haidh, mereka tidak makan bersamanya dan tidak
kumpul-kumpul dengan istrinya di rumah. Para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menanyakan tentang hal itu. Allah
Ta’ala lantas menurunkan ayat di atas. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“
Lakukanlah segala sesuatu selain jima’ (hubungan badan).” (HR. Muslim no. 302)
Imam Nawawi
rahimahullah berkata,
أجمع المسلمون علي تحريم وطئ الحائض للآية الكريمة والاحاديث الصحيحة
“Kaum muslimin sepakat akan haramnya menyetubuhi wanita haidh
berdasarkan ayat Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.” (Al Majmu’,
2/359)
Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,
وَوَطْءُ النُّفَسَاءِ كَوَطْءِ الْحَائِضِ حَرَامٌ بِاتِّفَاقِ الْأَئِمَّةِ
“Menyetubuhi wanita nifas adalah sebagaimana wanita haidh yaitu haram
berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)
Menyetubuhi Wanita Haidh Termasuk Dosa Besar
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه وسلم-
“
Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh atau menyetubuhi
wanita di duburnya, maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan
kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.” (HR. Tirmidzi no. 135, Ibnu Majah no. 639. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih)
Al Muhamili dalam
Al Majmu’ berkata bahwa Imam Asy Syafi’i
rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang menyetubuhi wanita haidh, maka ia telah terjerumus dalam
dosa besar.”
Ulama Syafi’iyah dan selainnya berkata bahwa barangsiapa yang
menganggap halal menyetubuhi wanita haidh, maka ia dihukumi kafir.
Barangsiapa yang melakukannya atas dasar tidak tahu adanya haidh, tidak
tahu akan haramnya, lupa, atau dipaksa, maka tidak ada dosa untuknya dan
tidak ada kafaroh. (Dinukil dari Al Majmu’, 2/359)
Apakah Ada Kafaroh dalam Hal Ini?
Para ulama berselisih pendapat kafaroh (tebusan) bagi orang yang
menyetubuhi istrinya ketika haidh. Ada empat pendapat dalam masalah ini:
Pertama, banyak
memohon ampun pada Allah dan tidak ada kafaroh. Inilah pendapat Imam
Malik, pendapat terbaru Imam Asy Syafi’i, ulama Zhohiriyah (Ibnu Hazm,
cs), dan Abu Hanifah.
Kedua,
bersedakah dengan satu dinar atau setengah dinar. Demikian pendapat Imam
Ahmad bin Hambal dari dua pendapat beliau yang dinilai lebih kuat.
Ketiga, jika
menyetubuhinya ketika masih keluar darah haidh, maka wajib bersedekah
dengan satu dinar. Jika menyetubuhinya setelah darah berhenti (namun
belum mandi wajib), maka wajib bersedekah dengan setengah dinar.
Demikian dikatakan oleh sebagian ulama hadits.
Keempat, bersedekah dengan 5 dinar. Demikian kata Al Auza’i.
Sebab perselisihan di atas karena penilaian keshahihan hadits Ibnu
‘Abbas. Dalam satu riwayat, Ibnu ‘Abbas memerintahkan bersedekah dengan
satu dinar. Riwayat lain disebutkan dengan setengah dinar. Dalam hadits
lainnya dirinci seperti pendapat ketiga di atas. Dalam hadits lainnya
disebutkan kafaroh sebagaimana pendapat Al Auza’i. (Lihat Al Jaami’ Al
Mufiid fii Asbaabi Ikhtilafil Fuqoha, Dr. ‘Abdul Karim Hamidi,
1/190-191)
Jumhur (mayoritas) ulama menganggap lemahnya (dhoifnya) hadits-hadits
[1] yang membicarakan wajibnya sedekah karena menyetubuhi wanita haidh. Sehingga yang tepat, tidak ada kewajiban kafaroh (sedekah).
[2] Kewajibannya adalah
bertaubat (taubatan nasuha)
dengan penuh penyesalan dan bertekad tidak akan mengulanginya lagi.
Karena ingat yang dilakukan adalah dosa besar sebagaimana dijelaskan di
atas.
Bercumbu dengan Wanita Haidh
Boleh bercumbu dengan wanita haidh selama tidak melakukan jima’ di kemaluan. Dalam hadits disebutkan,
اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ
“
Lakukanlah segala sesuatu (terhadap wanita haidh) selain jima’ (di kemaluan).” (HR. Muslim no. 302)
Dalam riwayat yang
muttafaqun ‘alaih disebutkan,
عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَتْ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا ، فَأَرَادَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنْ يُبَاشِرَهَا ، أَمَرَهَا أَنْ تَتَّزِرَ فِى فَوْرِ حَيْضَتِهَا ثُمَّ يُبَاشِرُهَا . قَالَتْ وَأَيُّكُمْ يَمْلِكُ إِرْبَهُ كَمَا كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَمْلِكُ إِرْبَهُ
Dari 'Aisyah, ia berkata bahwa di antara istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang mengalami hadidh. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin
bercumbu dengannya. Lantas beliau memerintahkannya untuk memakai sarung
agar menutupi tempat memancarnya darah haidh, kemudian beliau tetap
mencumbunya (di atas sarung). Aisyah berkata, “Adakah di antara kalian
yang bisa menahan hasratnya (untuk berjima’) sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menahannya?”
(HR. Bukhari no. 302 dan Muslim no. 293). Imam Nawawi menyebutkan
judul bab dari hadits di atas, “Bab mencumbu wanita haidh di atas
sarungnya”. Artinya di selain tempat keluarnya darah haidh atau selain
kemaluannya.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata,
لَكِنْ لَهُ
أَنْ يَسْتَمْتِعَ مِنْ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ بِمَا فَوْقَ الْإِزَارِ
وَسَوَاءٌ اسْتَمْتَعَ مِنْهَا بِفَمِهِ أَوْ بِيَدِهِ أَوْ بِرِجْلِهِ
فَلَوْ وَطِئَهَا فِي بَطْنِهَا وَاسْتَمْنَى جَازَ . وَلَوْ اسْتَمْتَعَ
بِفَخِذَيْهَا فَفِي جَوَازِهِ نِزَاعٌ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ . وَاَللَّهُ
أَعْلَمُ .
“Boleh bagi seorang suami mencumbu wanita haidh atau wanita yang
mengalami nifas di atas sarungnya. Ia boleh mencumbunya dengan mulut,
tangan atau kakinya. Seandainya ia menyetubuhinya di perutnya, lalu
keluarlah mani, maka itu masih dibolehkan. Namun jika ia mencumbu
istrinya pada kedua paha istrinya (belum sampai kemaluan, pen), maka
tentang bolehnya diperselisihkan para ulama.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/624)
Kapan Mulai Boleh Disetubuhi?
Penyebutan dalam ayat amatlah jelas, “
Dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222). Jadi barulah boleh menyetubuhi wanita haidh ketika darah haidhnya telah berhenti dan telah bersuci.
Ibnu Taimiyah
rahimahullah menjelaskan, “Penyebutan dalam
ayat ‘sampai wanita tersebut bersuci’, menunjukkan haramnya ....
Haramnya menyetubuhi wanita haidh itu hilang dengan berhentinya darah
haidh dan dibolehkan untuk menyetubuhinya dengan syarat wanita tersebut
telah mandi.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/625)
Bagaimana jika tidak mampu menggunakan air untuk wanita itu bersuci?
Sebagai ganti dari mandi adalah tayammum
jika memang sulit mendapati air atau tidak bisa menggunakan air. Setelah bertayamum, suaminya boleh menyetubuhinya. Ibnu Taimiyah
rahimahullah
berkata, “Adapun wanita haidh ketika darahnya berhenti, maka suaminya
tidak boleh menyetubuhinya sampai ia mandi jika ia mampu mandi. Jika
tidak mampu, maka sebagai gantinya adalah tayamum. Demikian pendapat
jumhur ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i.”
(Majmu’ Al Fatawa, 21/624-625)
Semoga Allah selalu menambahkan pada kita ilmu yang bermanfaat
. Wallahu waliyyut taufiq.